Business Process Reengineering (BPR)
Reengineering proses bisnis adalah pemikiran ulang fundamental dan disain ulang radikal suatu proses bisnis organisasi yang akan mengarahkan organisasi untuk mencapai peningkatan kinerja bisnis secara dramatis. Beberapa perusahaan telah menerapkan paradigma inovasi baru ini untuk mencapai berbagai perbaikan dalam biaya, kualitas, dan efisiensi. Bahkan makin banyak perusahaan yang mencari peluang untuk menerapkan proyek reengineering dan metodologi-metodologi yang membantu mereka dalam mencapai usaha-usaha perbaikan tersebut (Ellitan, 1999:13).
Reengineering adalah pemikiran ulang yang fundamental dan perancangan ulang yang radikal terhadap proses-proses bisnis organisasi yang membawa organisasi mencapai peningkatan yang dramatis dalam kinerja bisnisnya (Hamer dan Champy, 1993). Reengineering bisa juga diartikan sebagai inovasi proses atau perencanaan visi strategik dan strategi kompetitif baru serta pengembangan proses bisnis baru yang mendukung visi tersebut. Menurut Herbkersman (1994) reengineering adalah perubahan secara drastis
bagaimana cara anggota organisasi menyelesaikan cara kerja mereka.
Dalam tulisan Hamer memperkenalkan esensi dan prinsip-prinsip reengineering antara lain adalah:
1. Memfokuskan pada faktor-faktor sekitar hasil (outcome) bukan pada tugas, artinya bahwa suatu perusahaan hendaknya memiliki seseorang yang melaksanakan semua tahapan dalam suatu proses.
2. Suatu perusahaan hendaknya membentuk departemen-departemen terspesialisasi untuk menangani proses yang terspesialisasi pula.
3. Mengelompokkan pemrosesan informasi ke dalam fungsi yang menghasilkan informasi.
4. Memperlakukan sumber-sumber yang terpisah seolah-olah tersentralisasi.
5. Mengkaitkan aktivitas-aktivitas paralel serta mengintegrasikan hasil-hasilnya. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan keterkaitan antar fungsi paralel sehingga unit-unit terpisah bisa melakukan satu fungsi.
6. Menghubungkan aspek-aspek keputusan untuk menyelesaikan tugas dan membangun sistem pengendalian dalam suatu proses.
7. Memperoleh informasi sekaligus pada sumbernya.
Namun demikian Hamer sebagai salah satu pencetus ide tersebut sudah sejak awal memprediksi bahwa inisiatif reengineering akan mengalami kegagalan sekitar 50% -70% untuk mencapai tujuannya. Riset empiris membuktikan bahwa prediksi Hamer tidak jauh menyimpang dari kenyataan, bahkan tingkat kegagalan berdasarkan beberapa kasus mencapai 84% (Martinez,1995).
Penerapan reengineering memang menjanjikan perubahan secara drastis pada organisasi perusahaan dan proses bisnis. Jika reengineering berhasil maka perusahaan akan bisa meningkatkan kinerja organisasi dan karyawannya (Davidson, 1993). Tetapi sebaliknya, jika upaya reengineering mengalami kegagalan maka resiko yang dialami perusahaan akan timbul. Berbagai resiko yang mungkin dialami oleh perusahaan antara
lain (Clemons, 1995):
1. Resiko teknis (technical risk) yaitu resiko yang terjadi karena terbatasnya kapabilitas teknologi yang digunakan organisasi dalam proses reengineering.
2. Resiko finansial (financial risk) terjadi jika proyek reengineering tidak berjalan sesuai dengan rencana atau jika tidak selesai tepat pada waktunya dan tidak sesuai dengan biaya yang dianggarkan.
3. Resiko politis (political risk) yaitu terjadinya resistance to change terhadap proyekproyek reengineering.
4. Resiko fungsional (funcional risk) merupakan kesalahan disainer sistem dalam memahami kebutuhan organisasi dan kurangnya ketrampilan dan pengetahuan pelaksana sehingga mengakibatkan kapabilitas sistem yang dirancang tidak tepat.
5. Resiko proyek (project risk) adalah resiko yang bisa terjadi jika personel pemroses data tidak memahami dan tidak familiar terhadap teknologi baru sehingga menimbulkan masalah-masalah yang kompleks.
Hal ini disebabkan karena Terdapat empat faktor utama penyebab kegagalan reengineering antara lain:
1. Menolak untuk berubah (resistance to change)
2. Kurangnya komitmen manajemen (lack of management commitment).
3. Sistem informasi yang kurang memadai.
4. Kurangnya keluasan (breatdh) dan kedalaman (depth) analisis terhadap faktor-faktor kritis reengineering.
Konsep Dasar Business Process Re-engineering (BPR) adalah suatu metode untuk melakukan transformasi radikal pada proses bisnis secara keseluruhan dengan tujuan mencapai peningkatan kinerja yang signifikan dalam hal biaya, kualitas, dan efisiensi. Tujuan utama BPR adalah untuk meningkatkan kinerja bisnis dengan melakukan perubahan fundamental pada proses bisnis.
BPR berfokus pada hasil yang diinginkan, bukan pada cara melakukan pekerjaan. Proses BPR memungkinkan spesialisasi dalam proses bisnis, sehingga pekerjaan dapat dilakukan lebih efisien dan efektif. BPR juga memungkinkan integrasi informasi yang lebih baik, sehingga informasi dapat dibagikan lebih cepat dan akurat. Hal ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat, karena informasi dapat dibagikan lebih cepat dan akurat.
Dengan menerapkan BPR, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dengan melakukan perubahan fundamental pada proses bisnis. BPR juga dapat membantu perusahaan meningkatkan fleksibilitas dengan memungkinkan perubahan cepat dan responsif terhadap perubahan lingkungan bisnis. Selain itu, BPR dapat membantu perusahaan meningkatkan daya saing dengan melakukan perubahan fundamental pada proses bisnis yang dapat meningkatkan kinerja bisnis secara keseluruhan.
Tantangan dan Risiko dalam Implementasi BPR
Dalam implementasi Business Process Re-engineering (BPR), terdapat beberapa tantangan dan risiko yang harus dihadapi. Hambatan utama dalam implementasi BPR adalah penolakan terhadap perubahan, karena banyak orang yang tidak ingin meninggalkan cara kerja lama dan merasa nyaman dengan status quo. Selain itu, kurangnya komitmen manajemen juga dapat menjadi hambatan besar, karena tanpa komitmen yang kuat dari pihak manajemen, implementasi BPR tidak akan berhasil.
Sistem informasi yang tidak memadai juga dapat menjadi hambatan lain, karena BPR membutuhkan integrasi informasi yang baik untuk dapat berjalan efektif. Analisis yang kurang mendalam juga dapat menjadi hambatan, karena tanpa analisis yang mendalam, perusahaan tidak akan dapat memahami dengan baik proses bisnis yang sedang berjalan dan bagaimana cara meningkatkan kinerja bisnis.
Risiko yang mungkin terjadi dalam implementasi BPR adalah risiko teknis, finansial, politis, fungsional, dan proyek. Risiko teknis dapat terjadi jika sistem informasi yang digunakan tidak kompatibel dengan perubahan yang dilakukan. Risiko finansial dapat terjadi jika biaya implementasi BPR melebihi anggaran yang telah ditentukan. Risiko politis dapat terjadi jika perusahaan tidak memiliki komitmen yang kuat dari pihak manajemen untuk melakukan perubahan. Risiko fungsional dapat terjadi jika perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan yang efektif. Risiko proyek dapat terjadi jika perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk mengelola proyek implementasi BPR dengan baik.
Tingkat kegagalan implementasi Business Process Re-engineering (BPR) cukup tinggi, meskipun BPR menawarkan potensi besar untuk meningkatkan kinerja bisnis. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi BPR bukanlah tugas yang mudah dan memerlukan perencanaan yang matang serta dukungan penuh dari seluruh lapisan organisasi. Oleh karena itu, perusahaan harus sangat hati-hati dalam merencanakan dan melaksanakan implementasi BPR.
Penolakan terhadap perubahan sering menjadi hambatan utama dalam implementasi BPR. Karyawan mungkin merasa nyaman dengan cara kerja lama dan tidak ingin mengadopsi cara kerja baru. Oleh karena itu, manajemen perubahan menjadi kunci keberhasilan implementasi BPR. Perusahaan harus memahami bagaimana cara mengelola perubahan dengan efektif dan memotivasi karyawan untuk menerima perubahan.
Sistem informasi yang memadai sangat penting untuk mendukung proses bisnis yang baru. Namun, teknologi semata tidak cukup jika tidak diimbangi dengan perubahan budaya dan perilaku organisasi. Perusahaan harus memahami bahwa BPR bukan hanya tentang mengadopsi teknologi baru, tetapi juga tentang mengubah cara kerja dan budaya organisasi.
Pemahaman yang komprehensif terhadap proses bisnis yang ada sangat penting untuk mengidentifikasi area-area yang perlu diubah. Perusahaan harus melakukan analisis yang mendalam terhadap proses bisnis yang ada untuk memahami bagaimana cara meningkatkan kinerja bisnis. Dengan demikian, perusahaan dapat membuat perubahan yang efektif dan mencapai tujuan bisnisnya.
BPR merupakan alat yang ampuh untuk meningkatkan kinerja bisnis. Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada berbagai faktor, mulai dari komitmen manajemen, keterlibatan karyawan, hingga pemilihan teknologi yang tepat. Dengan pemahaman yang mendalam tentang konsep BPR dan tantangan yang terkait, perusahaan dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam upaya transformasi bisnis.
Metodologi BPR
Metodologi Business Process Re-engineering (BPR) dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan model. Salah satu model yang paling terkenal adalah Model Hammer dan Champy. Model ini membagi proses BPR menjadi beberapa langkah, yaitu identifikasi kebutuhan perubahan, analisis proses bisnis yang ada, desain proses bisnis yang baru, implementasi perubahan, dan evaluasi hasil. Contoh penerapan model ini dapat dilihat pada perusahaan yang ingin meningkatkan efisiensi operasional dengan mengadopsi teknologi baru.
Six Sigma adalah pendekatan lain yang dapat diintegrasikan dengan BPR untuk mencapai peningkatan kualitas yang signifikan. Six Sigma adalah metode yang menggunakan statistik dan analisis data untuk mengidentifikasi dan menghilangkan kecacatan dalam proses bisnis. Dengan menggabungkan Six Sigma dengan BPR, perusahaan dapat meningkatkan kualitas proses bisnis dan mengurangi biaya operasional.
Selain Model Hammer dan Champy dan Six Sigma, ada juga pendekatan-pendekatan lain seperti Lean Six Sigma, BPMN (Business Process Model and Notation), atau metodologi yang lebih spesifik untuk industri tertentu. Lean Six Sigma adalah pendekatan yang menggabungkan prinsip-prinsip Lean dengan Six Sigma untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya operasional. BPMN adalah notasi standar untuk menggambarkan proses bisnis, yang dapat membantu perusahaan dalam mendesain dan mengimplementasikan proses bisnis yang lebih efektif. Metodologi lainnya seperti Total Quality Management (TQM) dan Just-In-Time (JIT) juga dapat digunakan dalam BPR untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi proses bisnis.
REFERENSI
- Hammer, M., & Champy, J. (2001). Reengineering the corporation: A manifesto for business revolution. Nicholas Brealey Publishing.
- Harmon, P. (2007). Business process change: A guide for business managers and BPM and six sigma professionals. Morgan Kaufmann Publishers.
- Johansson, P., & Sundström, L. (2007). Business process re-engineering: Management challenges. Journal of Management, 33(3), 321-341.
- Lee, H. L., & Chen, G. (2000). Supply chain coordination under channel power imbalance. Management Science, 46(3), 353-368.