REHABILITASI HATI AKUNTAN
Mengamati berbagai kejadian yang mencoreng wajah akuntan seperti manipulasi laba, rekayasa laporan keuangan, kecurangan finansial, modifikasi laporan audit dan tindakan kriminal lainnya tentu akan meneteslah air mata kita. Begitu banyak cercaan yang datang menghampiri profesi akuntan sehingga muncullah kesangsian publik terhadap kinerja dan akuntabilitas akuntan. Laporan akuntan cenderung menutupi kondisi keuangan yang jelek dari perusahaan namun sebaliknya menampilkan hal-hal yang baik saja tentang perusahaan.
Menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana cara yang paling efektif untuk menanamkan etika dan moralitas pada diri pribadi akuntan? apakah tidak pernah diajarkan di sekolah kita mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi pela-jaran tentang kejujuran dan kebenaran dalam bertindak. Berapa jam dan SKS yang harus kita habiskan untuk melahap semua materi tersebut ? dan banyak pertanyaan lain yang sampai dengan saat ini kita belum memiliki jawaban yang pasti bagaimana solusi atas permasalahan tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perbuatan dan tingkah laku yang baik, jujur dan benar dihasilkan dari proses yang terjadi dalam diri manusia. Perilaku yang nampak dari diri kita dihasilkan dari sesuatu yang ada dalam diri kita. Sesuatu itu adalah “hati” atau “qolbu” atau “heart”. Hati menentukan apakah seseorang akan berbuat baik atau buruk. Kalau hati kita tidak dapat membedakan mana yang baik atau buruk berarti hati kita ‘bermasalah”. Sebagaimana Rasulluloh SAW bersabda “Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal daging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini merupakan penegasan bahwa perbaikan hati memiliki prioritas utama bagi seorang manusia (As Sewed, 2004). Oleh karena itu “tesis” penulis mengatakan bahwa untuk merehabilitasi citra dan nama baik profesi akuntan maka kita juga harus ‘merehabilitasi” hati pribadi-pribadi akuntan.
Bahwa cara yang terbaik untuk ‘merehabilitasi’ hati kita adalah dengan meningkatkan kualitas keimanan dan keagamaan kita. Sebagaimana As Sewed (2004) menyatakan bahwa meningkatkan kualitas hati mustahil dilakukan tanpa memiliki akidah dan keimanan yang benar. Kalau ditanyakan apakah itu bisa dilakukan secara menyeluruh padahal urusan keyakinan dalam beragama meru-pakan kebebasan individu? maka jawabannya adalah mulai dari diri kita dan jangan berpikir dulu untuk memperbaiki orang lain. Ketika setiap diri akuntan memperbaiki ‘hatinya’ maka lambat laun seluruh akuntan akan memiliki napas dan semangat yang sama sehingga hal yang mustahil tadi menjadi mungkin bukan?