POSTULAT DALAM AUDITING

POSTULAT DALAM AUDITING
Postulat dalam auditing akan berfungsi sebagai anggapan dasar yang semestinya harus dipegang sebelum auditing difungsikan. Anggapan dasar ini bisa saja berbeda dengan kenyataan atau hasil verifikasinya, namun sebelum hasil verifikasi itu diperoleh tidak semestinya berpendapat menyimpang dari asumsi dasar ini.
Berikut ini adalah 7 (tujuh) postulat yang dimodifikasi dari delapan postulat yang secara tentatif diusulkan oleh Mautz dan Sharaf dalam bukunya “The Philosophy of Auditing” :
1. Asersi atau Objek Audit Harus Verifiable atau Auditable
Verifikasi atau audit diperlukan untuk mendapatkan keyakinan tentang kewajaran suatu asersi atau laporan atau apapun yang menjadi objek dari audit. Guna mendapatkan keyakinan itu, perlu dilakukan pengujian dengan cara-cara yang praktis, mungkin dikerjakan (do able), dan ekonomis untuk dilakukan. Karena itu, tanpa tersedia kondisi bahwa asersi atau laporan itu dapat diuji, baik dari segi kepraktisan maupun keekonomisannya, maka sia-sialah keinginan untuk melakukan audit atas objek dimaksud. Nilai akuisisi aset, jumlah tagihan, besarnya laba, tingkat kinerja, jumlah pajak yang seharusnya dibayar, ketaatan terhadap peraturan, atau tingkat pengangguran, misalnya, secara praktis dapat diuji sehingga memenuhi asumsi pertama dalam auditing. Tetapi keyakinan bahwa bumi akan kiamat pada tahun 5000, atau satelit X telah jatuh berantakan menimpa planet Uranus, adalah contoh-contoh asersi yang tidak praktis bahkan mustahil untuk diuji. Karenanya hal-hal itu dianggap tidak auditable, dan tidak selayaknya diikutkan dalam domain audit.

2. Auditor yang Bertugas Memiliki Hubungan Netral dan Tidak Mempunyai Konflik dengan Objek Audit
Guna mendapatkan hasil uji yang meyakinkan, harus terdapat jaminan adanya hubungan yang netral antara yang mengaudit dengan yang diaudit. Netral yang dimaksudkan dalam hal ini terkait dengan kepentingan ekonomis dan hubungan personal, sehingga auditor dapat dipercaya memberi suatu tingkat jaminan (assurance) terhadap simpulannya atas asersi yang diaudit. Dalam refleksinya, postulat ini menjadi landasan bagi pentingnya independensi untuk dimiliki oleh auditor. Terdapat kemungkingan adanya potensi konflik kepentingan yang dipicu oleh kepentingan perusahaan atau manajemen organisasi untuk mengelabui auditor tentang beberapa hal. Akan tetapi, hal itu tidak seyogyanya memicu sikap permusuhan di antara auditor dengan auditan. Auditor tentu saja harus mewaspadai kemungkinan-kemungkinan itu, dan apabila perlu ia menerapkan prosedur audit yang spesifik untuk mengungkap hal itu. Jadi, auditor harus tetap bersikap netral terhadap kemungkinan itu, termasuk terhadap hasil pendalaman audit yang dilakukannya, entah hal pengelabuan itu terbukti benar atau tidak.

3. Asersi adalah Bebas dari Kekeliruan Sampai Proses Pembuktian Menunjukkan Sebaliknya
Asumsi ini menempatkan auditor pada posisi yang tepat sebagai pihak yang diharapkan melakukan pengujian tentang kewajaran asersi. Dengan asumsi ini auditor harus memperlakukan asersi yang hendak diujinya sebagai suatu sajian yang layak. Dengan demikian, sikap auditor dapat dianggap bias jika ia menyimpulkan bahwa suatu penyimpangan atau kekeliruan telah terjadi sebelum pembuktian dilakukan yang mengakibatkan timbulnya niat untuk sekadar mencari-cari kesalahan, dan akibatnya harus dirancang suatu program audit yang komprehensif sampai dugaan tentang penyimpangan itu ditemukan. Ini tidak berarti bahwa auditor tidak perlu memberi perhatian terhadap kemungkinan penyimpangan itu. Akan tetapi, auditor tidak boleh dengan gegabah membuat simpulan tertentu sebelum proses pengujian selesai. Apabila auditor telah bersikap pretensius tentang adanya penyimpangan, maka proses pembuktian tidak akan berjalan wajar lagi. Bahkan auditing hanya diarahkan untuk mendukung pretensi awal itu. Sebaliknya, auditor harus mengambil sikap hati-hati (prudent) untuk menetapkan simpulan auditnya setelah bukti-bukti yang diperoleh telah cukup memadai.

4. Asumsi Bahwa Terdapat Sistem Pengendalian Internal yang Berjalan dengan Semestinya Sampai Diperoleh Bukti Terjadi Sebaliknya
Dalam menghasilkan informasi atau asersi, sudah seyogyanya kalau organisasi memiliki sistem sampai informasi atau asersi itu dihasilkan. Dalam audit keuangan misalnya, sistem pengendalian internal selalu dievaluasi guna memetakan tingkat risiko yang mungkin beragam antar unit, tingkatan, bagian, dan account, sehingga prosedur audit selanjutnya dapat dirancang lebih efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, auditor perlu pula mengambil sikap yang serupa dengan asumsi pada butir ketiga, yakni mengakui adanya sistem pengendalian internal yang berjalan dengan efektif sampai proses dan hasil pembuktian yang dilakukan oleh auditor menunjukkan fakta sebaliknya.

5. Ketentuan atau Standar yang Berlaku telah Dijalankan dengan Konsisten
Untuk menilai kewajaran suatu asersi atau laporan, seperti laporan keuangan, auditor seharusnya telah menyadari adanya standar, ketentuan, kriteria, atau benchmark yang berlaku atau dapat diberlakukan. Standar atau benchmark inilah yang selanjutnya digunakan untuk menilai kewajaran asersi. Namun, sebelum hasil penilaian atau pemeriksaan diperoleh, auditor seyogyanya mengambil posisi netral bahwa segala ukuran atau standar ideal telah diupayakan secara konsisten, kecuali kalau auditing itu sendiri pada gilirannya menunjukkan hasil yang sebaliknya. Tanpa asumsi ini, pekerjaan auditing akan menjadi bias, dan cenderung pretensius untuk menunjukkan adanya penyimpangan.

6. Setiap Auditor Berfungsi Secara Eksklusif Sebagai Auditor
Auditor, seperti profesional lain pada umumnya, mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat yang harus selalu memberi jaminan bahwa ia menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya tanpa dipengaruhi oleh kepentingan di luar apa yang semestinya dianggap baik oleh profesi auditing. Oleh karena itu, auditor harus mampu menunjukkan independensi dalam melaksanakan tugasnya. Untuk itu, auditor tidak selayaknya merangkap fungsi lain selain sebagai auditor, misalnya merangkap sebagai pemilik atau merangkap sebagai pembawa ‘barang dagangan’.

7. Setiap Auditor Diasumsikan Profesional
Kalau terdapat asumsi awal bahwa yang melakukan audit tidak memiliki kemampuan maupun perilaku yang profesional, maka segala hasil pekerjaannya akan menjadi sia-sia belaka. Fungsi auditing yang dijalankan oleh auditor merupakan otoritas profesi yang memperoleh privilese dari masyarakat, termasuk masyarakat pengguna langsung dari hasil auditing itu. Privilege itu selayaknya diberikan atas dasar kepercayaan, sehingga auditor yang ditunjuk sudah semestinya dipandang dan diasumsikan sebagai orang yang dipercaya mampu mewujudkan fungsi auditing. Kepercayaan masyarakat akan kemampuan auditor untuk melakukan fungsi auditing dengan baik itulah yang mesti secara implisit perlu dipegang dalam penugasan auditing. Tentu saja postulat ini memiliki sisi penekanan yang lain bahwa setiap auditor seharusnya selalu membina dan mempertahankan kemampuan serta sikap profesionalnya, antara lain dengan memiliki pengetahuan yang cukup dan pengembangan diri secara kontinyu.

Ketujuh postulat atau asumsi dasar yang dikemukakan di atas hanya merupakan gagasan awal yang terbuka untuk didiskusikan. Butir-butir yang diusulkan di atas tidak selalu terpisah antara satu dengan yang lain. Beberapa di antaranya bahkan tampak berkaitan erat. Postulat-postulat di atas juga kemungkinan telah terefleksikan sebagian besar secara tidak langsung dalam standar audit keuangan (GAAS, The Generally Accepted Auditing Standards) maupun Standar Audit APIP, seperti dalam standar umum, standar pelaksanaan tugas, dan standar pelaporan, yang berlaku dalam pemeriksaan atas laporan keuangan dan laporan akuntabilitas kinerja.

Dalam auditing, postulat adalah asumsi dasar yang harus diterima tanpa perlu pembuktian. Postulat ini menjadi fondasi bagi pengembangan teori dan praktik audit. Berikut ini beberapa postulat penting dalam auditing:

1. Integritas Manajemen:

  • Asumsi: Auditor mengasumsikan bahwa manajemen perusahaan yang diaudit memiliki integritas dan jujur dalam menyajikan laporan keuangan.
  • Implikasi: Auditor akan merancang prosedur audit dengan asumsi bahwa manajemen tidak akan sengaja mendistorsi informasi keuangan. Namun, auditor tetap harus waspada terhadap potensi kecurangan.

2. Keberadaan Entitas:

  • Asumsi: Entitas yang diaudit adalah unit ekonomi yang independen dan terpisah dari pemilik atau pihak lain.
  • Implikasi: Auditor akan memverifikasi keberadaan entitas dan memastikan bahwa transaksi dan laporan keuangan yang diaudit memang mencerminkan aktivitas entitas tersebut.

3. Kelangsungan Usaha (Going Concern):

  • Asumsi: Entitas yang diaudit akan terus beroperasi dalam jangka waktu yang cukup lama di masa depan.
  • Implikasi: Auditor akan mengevaluasi asumsi going concern dan mempertimbangkan dampaknya terhadap laporan keuangan. Jika ada keraguan tentang kelangsungan usaha, auditor harus mengungkapkan hal tersebut dalam laporan audit.

4. Periodisitas:

  • Asumsi: Aktivitas entitas dapat dibagi menjadi periode waktu tertentu (misalnya, tahunan, triwulanan) untuk tujuan pelaporan keuangan.
  • Implikasi: Auditor akan memeriksa laporan keuangan untuk setiap periode dan memastikan bahwa transaksi telah dicatat dalam periode yang tepat.

5. Objektivitas:

  • Asumsi: Auditor harus independen dan objektif dalam melakukan audit.
  • Implikasi: Auditor harus menghindari konflik kepentingan dan menjaga sikap skeptis profesional selama proses audit.

6. Keterbatasan Audit:

  • Asumsi: Audit tidak dapat memberikan jaminan mutlak bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material.
  • Implikasi: Auditor akan merencanakan dan melaksanakan audit untuk mengurangi risiko audit ke tingkat yang rendah, tetapi tidak dapat menghilangkannya sepenuhnya.

7. Materialitas:

  • Asumsi: Auditor hanya fokus pada salah saji yang material, yaitu salah saji yang dapat memengaruhi keputusan pengguna laporan keuangan.
  • Implikasi: Auditor akan menentukan tingkat materialitas dan menggunakannya sebagai dasar untuk merencanakan prosedur audit dan mengevaluasi hasil audit.

8. Konsistensi:

  • Asumsi: Entitas akan menggunakan metode akuntansi yang sama dari periode ke periode, kecuali ada alasan yang sah untuk mengubahnya.
  • Implikasi: Auditor akan memeriksa konsistensi penerapan metode akuntansi dan memastikan bahwa setiap perubahan telah diungkapkan dan dijelaskan dengan memadai dalam laporan keuangan.

9. Pengungkapan yang Memadai:

  • Asumsi: Laporan keuangan harus menyajikan informasi yang cukup untuk memungkinkan pengguna memahami posisi keuangan, kinerja, dan arus kas entitas.
  • Implikasi: Auditor akan mengevaluasi kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan dan memastikan bahwa semua informasi material telah diungkapkan.

10. Bukti Audit:

  • Asumsi: Auditor harus memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk mendukung opininya atas laporan keuangan.
  • Implikasi: Auditor akan merancang dan melaksanakan prosedur audit untuk memperoleh bukti yang relevan dan andal.

Pentingnya Postulat dalam Auditing:

Postulat-postulat ini membentuk kerangka berpikir bagi auditor dan memandu mereka dalam melakukan audit. Tanpa postulat, proses audit akan menjadi subjektif dan tidak terstruktur. Postulat juga membantu auditor dalam:

  • Mengembangkan standar audit: Postulat menjadi dasar bagi pengembangan standar auditing yang digunakan oleh auditor di seluruh dunia.
  • Menginterpretasikan bukti audit: Postulat membantu auditor dalam menginterpretasikan bukti audit dan menarik kesimpulan yang tepat.
  • Mengkomunikasikan hasil audit: Postulat membantu auditor dalam mengkomunikasikan hasil audit kepada pengguna laporan keuangan.

Perkembangan Postulat Audit:

Seiring dengan perkembangan praktik audit dan lingkungan bisnis, postulat audit juga terus berkembang. Beberapa isu yang memengaruhi perkembangan postulat audit antara lain:

  • Perkembangan teknologi informasi: Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara entitas mengelola dan menyajikan informasi keuangan. Auditor perlu menyesuaikan postulat dan prosedur audit untuk menghadapi tantangan ini.
  • Globalisasi: Globalisasi telah meningkatkan kompleksitas transaksi dan operasi bisnis. Auditor perlu mempertimbangkan faktor-faktor global dalam merumuskan postulat dan melakukan audit.
  • Etika dan tata kelola: Meningkatnya kesadaran akan pentingnya etika dan tata kelola telah mendorong auditor untuk lebih fokus pada isu-isu tersebut dalam proses audit.

Postulat audit merupakan fondasi penting bagi praktik audit. Dengan memahami postulat-postulat ini, auditor dapat melakukan audit yang efektif dan memberikan keyakinan yang memadai atas laporan keuangan. Perkembangan lingkungan bisnis dan teknologi informasi menuntut auditor untuk terus mengembangkan dan menyesuaikan postulat audit agar tetap relevan dan efektif.

Referensi

  • Arens, A. A., Elder, R. J., & Beasley, M. S. (2014). Auditing and assurance services: An integrated approach. Pearson Education.
  • Flint, D. (1988). Philosophy and principles of auditing. Macmillan.
  • Mautz, R. K dan Hussein A Sharaf, (1961), The Philosophy of Auditing, Sarasota: American Accounting Association.
Anda mungkin juga berminat
Comments
Loading...